Tanaman wedhusan (bandotan) selama ini dikenal sebagai tanaman yang tumbuh liar di jalanan. Namun, di tangan tim riset FK UB, tanaman ini mampu menjelma jadi tanaman berkhasiat tinggi untuk dunia kedokteran.
Wajah lima mahasiswa anggota tim riset Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya (UB) tampak gembira. Wajah mereka berbinar-binar. ”Kuncinya, kami semua solid,” ucap Andika Agus yang diamini empat rekannya, Irma Selekta, Danica Aulia, Firman Prayudha, dan Adytiansyah.
Ya, mereka benar-benar menunjukkan kecemerlangan pemikirannya. Tim ini berhasil meraih juara 2 kategori research paper di ajang Asian Medical Student Conference (AMSC) ke-XXXI. Ajang ini digelar di Jakarta pada 25 Juli – 1 Agustus lalu. Meski berskala Asia, namun peserta kompetisi yang diselenggarakan Asian Medical Student Association (AMSA) tersebut ada yang berasal dari Australia, Inggris, dan Ukraina.
Dalam ajang itu, mereka menulis riset dengan judul cukup panjang. Yakni, Inhibition of Advanced Glycation End Product, NF-KB, and ET-1 by Ageratum Conyzoides Leaves Essential Oil as Anti Ageing and Anti Diabetic Vascular Complication.
Meski tidak berhasil meraih juara 1, namun mereka cukup puas. Apalagi para mahasiswa ini baru kali pertama mengikuti AMSC. ”Secara pengalaman, kami kalah jauh dibanding tim lain dari 18 negara,” ujar Agus, sapaan Andika Agus, juru bicara tim.
Di ajang ini, juara 1 diraih National University of Singapore. Kampus ternama di Singapura ini adalah juara bertahan, karena tahun lalu juga jadi juara 1. ”Tidak penting siapa yang jadi juara, yang penting penelitian para peserta punya andil bagi ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia,” tambah Firman Prayudha, rekan Agus lainnya.
Dalam penelitian yang dilakukan selama tiga bulan tersebut, tim ini menghabiskan dana Rp 7 juta. Objek penelitian mereka adalah tanaman wedhusan (bandotan). Tanaman ini biasa tumbuh liar dan tidak terlalu diperhatikan karena belum diketahui kegunaannya.
Pilihan tim riset pada tanaman yang memiliki nama latin Ageratum Conzoides itu bukan tanpa alasan. Salah satunya wedhusan adalah tanaman asli Indonesia yang tidak banyak yang memperhatikan.
Salah satu upaya untuk menaikkan pamor dan derajat tanaman ini adalah dengan mencari tahu manfaat darinya sebelum nanti dipublikasikan. Sebetulnya, daun ini pernah diteliti seorang mahasiswa Nigeria yang menempuh studi di Inggris. Namun penelitiannya hanya sebatas pada senyawa apa saja yang terkandung dalam wedhusan. Salah satu senyawa itu adalah Kromein.
Senyawa Kromein adalah senyawa yang mampu memperlambat proses penuaan pada kulit. ”Bekal riset awal itu, kami sepakat mengembangkan penelitian tentang wedhusan ini lebih lanjut,” jelas Agus.
Dalam penelitian yang merupakan tahap awal ini, mereka menggunakan kultur sel. Artinya, mereka belum menggunakan makhluk hidup sebagai kelinci percobaan. Kultur sel itu itu sengaja direkayasa dengan proses kimiawi agar mengalami penuaan.
Setelah menua, kultur sel itu dipapar dengan minyak ekstraksi daun wedhusan yang diteliti tim FK UB ini. ”Hasilnya sangat signifikan. Aktivitas penuaan sel menurun,” tegas Agus.
Tidak hanya sekadar mengatasi masalah penuaan, minyak daun wedhusan juga mampu meminimalisasi komplikasi yang biasa terjadi pada penderita diabetes. Seperti diketahui, penderita diabetes biasanya sangat rentan terserang penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal.
Meski belum diketahui efeknya pada makhluk hidup, namun mereka optimistis, minyak daun wedhusan juga aman digunakan oleh manusia. Untuk itu, mereka berencana terus mengembangkan penelitian ini.
Bahkan, penelitian ini sudah ditenderkan oleh laboratorium faal (fisiologi molekuler) FK UB. ”Proposalnya sudah kami ajukan pada perusahaan swasta dan Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek),” katanya.
Keberhasilan tim ini melakukan riset tanaman wedhusan tak pelak membuat hati kecil mereka khawatir. Salah satunya jika khasiat tanaman ini jadi populer, bisa jadi negara lain akan ramai-ramai mengakui bahwa wedhusan adalah tanaman khas negara lain. Bukan dari Indonesia.
”Kami takut diklaim oleh negara lain, seperti halnya mengkudu yang sudah diklaim Jepang. Semoga pemerintah segera bertindak mematenkannya,” ujar Agus berharap.